Ayat Mazmur 78:60 membawa kita pada sebuah momen penting dalam narasi Alkitab, yaitu ketika Allah meninggalkan Kemah-Nya di Silo. Silo adalah sebuah tempat yang sangat berarti bagi umat Israel. Di sanalah Tabut Perjanjian, simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya, ditempatkan selama berabad-abad. Silo menjadi pusat ibadah, tempat di mana bangsa Israel bersekutu dengan Tuhan.
Namun, ayat ini mengungkapkan sebuah kenyataan yang menyakitkan: Allah "meninggalkan Kemah-Nya di Silo." Peristiwa ini bukan sekadar perpindahan lokasi fisik, melainkan cerminan dari rusaknya hubungan antara Allah dan umat-Nya akibat ketidaktaatan dan dosa mereka. Kitab Suci mencatat bahwa umat Israel telah berulang kali berpaling dari Allah, menyembah berhala, dan melupakan perjanjian yang telah dibuat dengan Tuhan. Tindakan ini tentu saja mendatangkan murka dan kekecewaan dari Sang Pencipta.
Keputusan Allah untuk meninggalkan Silo adalah peringatan keras. Ini menunjukkan bahwa kehadiran ilahi tidak bisa dipaksa atau dianggap remeh. Ketaatan dan kesetiaan adalah syarat utama untuk memelihara persekutuan yang intim dengan Allah. Ketika umat Israel terus menerus mengabaikan firman-Nya, hubungan tersebut retak, dan Allah, dalam kedaulatan-Nya, menarik sebagian dari manifestasi kehadiran-Nya.
Meskipun Allah meninggalkan Kemah-Nya di Silo, ini tidak berarti Allah meninggalkan umat-Nya sepenuhnya. Ayat ini juga mengingatkan kita akan janji Allah yang kekal. Mazmur 78 sendiri secara keseluruhan adalah sebuah pengajaran kepada generasi mendatang tentang kesetiaan Allah dan ketidaksetiaan umat-Nya. Sang pemazmur ingin mengingatkan bahwa meskipun ada konsekuensi dari dosa, Allah tetap adalah Allah yang setia pada janji-Nya. Jauh di lubuk hati-Nya, Allah merindukan umat-Nya kembali kepada-Nya.
Kisah Silo menjadi pelajaran berharga. Ia mengajarkan pentingnya menjaga kekudusan hidup dan ketulusan hati dalam beribadah. Kehadiran Allah adalah anugerah terbesar, dan kita harus menghargainya dengan hidup sesuai kehendak-Nya. Mazmur 78:60, dalam konteks yang lebih luas, mengarahkan kita pada pemahaman bahwa Allah memang menuntut kesetiaan, namun Ia juga selalu membuka pintu pengampunan dan pemulihan bagi mereka yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya. Janji-Nya adalah untuk kebaikan umat-Nya, dan Ia selalu mencari cara untuk tetap dekat dengan mereka yang mencari-Nya dengan tulus.