"Kata-kata mulutnya membawa kebodohan, dan lidahnya adalah awal kecelakaan."
Ayat Pengkhotbah 10:13 mengingatkan kita akan kekuatan besar yang tersembunyi dalam perkataan yang kita ucapkan. Frasa "Kata-kata mulutnya membawa kebodohan, dan lidahnya adalah awal kecelakaan" bukanlah sekadar peringatan, melainkan sebuah cermin yang merefleksikan dampak mendalam dari ucapan kita terhadap diri sendiri dan orang lain. Kebodohan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar kurangnya pengetahuan, melainkan perilaku yang tidak bijaksana, tindakan gegabah, dan penilaian yang keliru yang seringkali berakar dari perkataan yang tidak dipikirkan.
Perkataan memiliki kekuatan untuk membangun atau menghancurkan. Sama seperti lidah yang kecil namun mampu mengarahkan kapal besar ke arah yang berbeda, demikian pula kata-kata kita dapat membentuk realitas kita dan orang-orang di sekitar kita. Ketika kita berbicara tanpa hikmat, tanpa pertimbangan, atau dengan niat yang buruk, kita membuka pintu bagi "kecelakaan". Kecelakaan ini bisa bermacam-macam bentuknya: kesalahpahaman, konflik, hubungan yang rusak, kehilangan kesempatan, atau bahkan reputasi yang tercoreng. Ayub pernah berkata, "Betapa kuatnya kata-kata yang tidak terucap, tetapi betapa lebih berbahaya lagi kata-kata yang terucap tanpa berpikir" (disesuaikan untuk konteks)..
Mengapa kata-kata kita bisa begitu mudah membawa kebodohan? Seringkali, kita berbicara karena dorongan emosi sesaat, rasa frustrasi, atau keinginan untuk pamer. Kita tidak meluangkan waktu untuk menimbang makna, dampak, dan kebenaran dari apa yang akan kita sampaikan. Akibatnya, kata-kata yang keluar bisa jadi hanya menyuarakan ketidaktahuan kita, memperpanjang kebingungan, atau bahkan menyebarkan informasi yang salah. Ini bukan sekadar masalah etika komunikasi, tetapi juga sebuah prinsip spiritual yang menekankan pentingnya mengendalikan diri dan menjadikan perkataan sebagai alat yang konstruktif.
Sebaliknya, Alkitab juga mengajarkan bahwa perkataan yang bijaksana membawa kesembuhan dan pengertian. "Lidah orang bijak membawa kesembuhan," kata Amsal 12:18. Ini menunjukkan kontras yang jelas. Kata-kata yang keluar dari hati yang penuh hikmat, yang didasari oleh kasih dan pemahaman, akan mampu menjembatani perbedaan, menenangkan hati yang gelisah, dan membawa terang ke dalam situasi yang gelap. Pengkhotbah 10:13 bukan berarti kita harus diam selamanya, tetapi mengajak kita untuk merenungkan isi hati kita sebelum perkataan keluar dari bibir kita. Latihan untuk berpikir sebelum berbicara, menguji kebenaran perkataan kita, dan memastikan niat kita murni adalah langkah awal untuk menghindari jebakan kebodohan dan kecelakaan yang disebabkan oleh lidah yang tidak terkendali.
Mari kita jadikan ayat ini sebagai pengingat harian untuk lebih berhati-hati dalam setiap ucapan. Pilihlah kata-kata yang membangun, menyemangati, dan membawa kebenaran. Karena dari mulut kita, kehidupan atau kehancuran dapat mengalir. Memilih untuk berbicara dengan hikmat adalah investasi jangka panjang untuk kedamaian diri, harmoni hubungan, dan kehidupan yang diberkati.