Pengkhotbah 2:20 - Kegelisahan di Balik Kekayaan

"Karena itu aku menjadi benci kepada segala hasil jerih payahku yang telah kulakukan di bawah matahari, sebab kelak semuanya itu harus terhilang dan aku tinggalkan kepada orang yang akan datang sesudah aku." (Pengkhotbah 2:20)

Ayat Pengkhotbah 2:20 secara lugas menggambarkan sebuah realitas mendalam yang seringkali terabaikan di tengah kesibukan mencari kepuasan duniawi: rasa jemu dan bahkan kebencian terhadap segala sesuatu yang telah dicapai dengan susah payah.

Ketika kita merenungkan perkataan Pengkhotbah, seorang raja yang memiliki kekayaan dan kekuasaan tak terhingga, kita dapat memahami betapa rapuhnya kepuasan yang bersumber hanya dari pencapaian materi dan kesenangan duniawi. Salomo, sang penulis kitab Pengkhotbah, telah mencoba segala cara untuk menemukan makna dan kebahagiaan sejati. Ia membangun istana megah, mengumpulkan kekayaan berlimpah, memelihara taman-taman indah, mempekerjakan musisi, dan memanjakan diri dengan segala bentuk kenikmatan yang bisa dibayangkan. Namun, di balik semua kemewahan itu, terselip sebuah kekosongan yang menggerogoti.

Frasa "semuanya itu harus terhilang dan aku tinggalkan kepada orang yang akan datang sesudah aku" adalah inti dari kegelisahan tersebut. Kekayaan, kekuasaan, proyek-proyek besar, semua yang telah dikerjakan dengan segenap tenaga dan pikiran, pada akhirnya akan berpindah tangan. Kita tidak dapat membawa harta benda kita ke alam baka. Lebih dari itu, kita tidak dapat mengontrol bagaimana orang-orang yang akan datang akan memperlakukan warisan kita. Mereka bisa menghancurkannya, menyalahgunakannya, atau sekadar mengabaikannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apa gunanya semua jerih payah ini jika pada akhirnya kita harus melepaskannya begitu saja?

Perasaan benci yang diungkapkan di sini bukanlah kebencian yang destruktif, melainkan semacam kekecewaan yang mendalam. Ini adalah pengakuan bahwa sumber kepuasan sejati bukanlah pada apa yang kita miliki atau apa yang kita capai di dunia ini, melainkan pada sesuatu yang lebih abadi. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak terlalu melekatkan hati pada pencapaian duniawi semata. Kesuksesan dalam karier, jabatan tinggi, tabungan yang menggunung, semua itu bisa menjadi alat yang berguna, tetapi tidak boleh menjadi tujuan akhir hidup kita.

Dalam konteks modern, ayat ini relevan bagi siapa saja yang terus-menerus dikejar oleh "kesibukan dunia". Kita seringkali terdorong untuk bekerja lebih keras, menghasilkan lebih banyak, dan mengumpulkan lebih banyak, dengan harapan bahwa hal tersebut akan membawa kebahagiaan dan rasa aman. Namun, Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa kebahagiaan yang sejati tidak dapat dibeli atau dibangun di atas fondasi materi semata. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenungkan apa yang benar-benar penting dalam hidup, dan mencari makna yang melampaui keberadaan duniawi yang fana.

Pertanyaan yang muncul adalah: lantas bagaimana seharusnya kita menjalani hidup? Apakah kita harus berhenti bekerja dan tidak peduli pada pencapaian? Tentu saja tidak. Kitab Pengkhotbah tidak mengajarkan pasivitas. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk bekerja dengan bijak, menikmati berkat-berkat sederhana yang diberikan Tuhan, dan yang terpenting, mencari hubungan yang bermakna dengan Sang Pencipta. Ketika hidup kita berpusat pada hal-hal yang kekal, pencapaian duniawi akan memiliki tempat yang proporsional dan tidak lagi menjadi sumber kegelisahan saat harus ditinggalkan.

Menemukan makna hidup yang sesungguhnya adalah sebuah perjalanan. Ayat Pengkhotbah 2:20 menjadi pengingat yang kuat bahwa kepuasan yang abadi tidak ditemukan dalam tumpukan harta atau puncak kekuasaan. Ia tersembunyi dalam kesadaran akan keterbatasan hal-hal duniawi dan dalam pencarian akan sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang dapat kita bawa bersama kita, bahkan setelah jerih payah di bawah matahari ini berakhir.