Pengkhotbah 2:21

"Karena ada orang yang telah bekerja keras dengan pengetahuan, dengan kecerdasan dan dengan keahlian, tetapi ia harus menyerahkan hasil jerih payahnya kepada orang lain yang tidak pernah bersusah payah untuk itu. Inipun kesia-siaan dan kemalangan yang menyakitkan."

Kesia-siaan

Renungan tentang Kesia-siaan dan Keadilan

Ayat Pengkhotbah 2:21 menyajikan sebuah gambaran yang menyayat hati tentang realitas kehidupan yang sering kali tidak adil. Sang Pengkhotbah, setelah menjelajahi berbagai aspek kesenangan dan pencapaian duniawi, sampai pada sebuah kesimpulan yang suram: banyak jerih payah yang dilakukan dengan penuh dedikasi dan keahlian, pada akhirnya tidak membawa kepuasan abadi, bahkan lebih buruk lagi, hasilnya dinikmati oleh orang lain yang tidak pernah mengerahkan usaha yang sama.

Konteks dari ayat ini adalah sebuah refleksi mendalam tentang "kesia-siaan di bawah matahari". Penulis sedang mengamati dunia dan melihat pola-pola yang berulang, di mana upaya keras, kecerdasan, dan pengetahuan yang dimiliki seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan imbalan yang diterima. Seringkali, kita menyaksikan atau bahkan mengalami sendiri bagaimana kerja keras kita, yang didasari oleh pemikiran matang dan pelaksanaan yang terampil, justru memberikan keuntungan bagi orang lain yang mungkin tidak memiliki integritas, etos kerja, atau bahkan kesempatan yang sama.

Ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Mungkin seorang karyawan yang loyal dan berkinerja tinggi tidak mendapatkan promosi, sementara rekan kerja yang kurang kompeten tetapi pandai bersilat lidah yang mengambil alih posisinya dan menuai pujian serta bonus. Atau dalam dunia bisnis, inovasi dan kerja keras yang dilakukan oleh seorang pengusaha kecil dapat dengan mudah ditiru dan dikembangkan oleh perusahaan besar yang memiliki sumber daya lebih untuk memasarkan dan mendistribusikan produk tersebut, sehingga bisnis kecil tersebut harus berjuang hanya untuk bertahan hidup.

Pengalaman ini tidak hanya menimbulkan rasa frustrasi, tetapi juga "kemalangan yang menyakitkan". Ini adalah luka batin yang timbul ketika kita merasa bahwa keadilan telah diabaikan, dan usaha kita tidak dihargai sebagaimana mestinya. Hal ini dapat mengikis semangat, menimbulkan sinisme, dan membuat kita mempertanyakan makna dari kerja keras itu sendiri. Mengapa harus berjuang keras jika pada akhirnya hasilnya akan direnggut atau dinikmati oleh orang lain?

Namun, dalam kesuraman ini, ayat ini juga mengundang kita untuk mencari perspektif yang lebih luas. Sang Pengkhotbah tidak berhenti pada pengamatan ini saja. Refleksi ini menjadi landasan untuk mencari hikmat yang lebih dalam, yang melampaui pencapaian duniawi semata. Meskipun dunia mungkin sering kali tidak adil, pesan ini tidak dimaksudkan untuk membuat kita menyerah pada keputusasaan. Sebaliknya, ia mengingatkan kita untuk tidak menempatkan harapan terakhir kita pada hasil kerja keras duniawi, yang bisa saja luput dari genggaman.

Mungkin kunci untuk menghadapi kesia-siaan ini adalah dengan mengubah cara kita memandang kerja itu sendiri. Jika kerja kita lakukan bukan semata-mata untuk keuntungan pribadi atau pengakuan duniawi, tetapi sebagai bentuk ibadah, tanggung jawab, atau ekspresi panggilan ilahi, maka kita dapat menemukan makna yang lebih dalam terlepas dari hasil akhirnya. Menyadari bahwa semua yang kita miliki dan semua yang kita lakukan berasal dari sumber yang lebih tinggi dapat memberikan ketenangan, bahkan ketika hasil jerih payah kita tidak dihargai oleh sesama manusia.

Ayat ini mengingatkan kita untuk waspada terhadap ilusi kesuksesan duniawi yang rapuh dan sementara. Ini mendorong kita untuk mencari nilai dan kepuasan dalam proses, dalam integritas diri, dan dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta, yang melihat segala sesuatu dan pada akhirnya akan memulihkan keadilan.