"Aku akan mendatangkan kehinaan yang mengerikan atasmu, dan engkau tidak akan ada lagi. Orang akan mencarimu, tetapi engkau tidak akan ditemukan lagi sampai selamanya."
Ayat Yehezkiel 26:21 memberikan gambaran yang sangat gamblang tentang kehancuran yang akan menimpa kota Tirus. Tirus, pada masanya, adalah kota pelabuhan yang megah, pusat perdagangan yang kaya, dan kekuatan maritim yang tangguh. Keberadaannya dipenuhi dengan kemegahan, kekayaan, dan kebanggaan yang luar biasa. Namun, nubuat yang disampaikan melalui nabi Yehezkiel menegaskan bahwa semua kemegahan itu akan lenyap tak bersisa.
Kehancuran Tirus bukanlah sekadar peristiwa kekalahan militer biasa. Ayat ini berbicara tentang "kehinaan yang mengerikan" dan penegasan bahwa kota itu "tidak akan ada lagi." Ini menyiratkan pemusnahan total, bukan hanya fisik tetapi juga eksistensial. Bayangkan sebuah kota yang begitu terkenal, begitu hidup, yang suatu hari nanti akan hilang dari peta sejarah, menjadi sekadar cerita, bahkan menjadi sulit untuk ditemukan jejaknya. Kehinaan di sini bukan hanya tentang rasa malu, tetapi tentang hilangnya signifikansi dan eksistensi itu sendiri.
Nubuat ini sering diinterpretasikan sebagai peringatan keras terhadap kesombongan dan kepercayaan diri yang berlebihan yang timbul dari kekayaan dan kekuatan duniawi. Tirus, dengan kekayaannya yang melimpah dan jaringan perdagangannya yang luas, kemungkinan besar mengembangkan rasa aman diri yang salah. Mereka mungkin percaya bahwa benteng mereka, kekayaan mereka, dan kekuatan angkatan laut mereka akan melindungi mereka dari ancaman apa pun. Namun, Tuhan, melalui nabi-Nya, memperingatkan bahwa kekuatan manusia dan sumber daya duniawi bersifat fana dan tidak dapat menandingi kedaulatan ilahi.
Keadaan Tirus yang akhirnya hancur – dikuasai oleh Babel di bawah Nebukadnezar, dan kemudian mengalami kehancuran lebih lanjut oleh Aleksander Agung – menjadi bukti nubuat ini. Legenda tentang Tirus yang tenggelam atau lenyap menjadi pengingat yang kuat akan kerapuhan segala sesuatu yang dibangun di atas dasar yang tidak kokoh. Ayat ini mengajarkan bahwa apa yang tampak kokoh dan abadi di mata manusia bisa saja rapuh di hadapan kehendak Tuhan.
Lebih dari sekadar catatan sejarah tentang sebuah kota kuno, Yehezkiel 26:21 berfungsi sebagai metafora abadi. Ini mengingatkan kita untuk tidak menaruh harapan tertinggi kita pada harta benda, kekuasaan, atau status sosial. Keberhasilan dan keamanan sejati tidak dapat ditemukan dalam pencapaian duniawi semata, yang pada akhirnya dapat lenyap dan menghilang. Sebaliknya, ia mendorong pencarian akan fondasi yang lebih kokoh, yang mungkin terletak pada nilai-nilai spiritual, integritas moral, dan hubungan yang mendalam dengan Yang Maha Kuasa. Kehinaan Tirus yang menjadi contoh, menjadi seruan agar kita merendahkan hati, mengakui keterbatasan kita, dan mencari kebijaksanaan serta perlindungan dari sumber yang tidak akan pernah binasa.