"Mereka tidak boleh menjual atau menukarnya atau mengalihkan hak milik tanah wakaf dari tanah itu, karena tanah itu kudus bagi TUHAN."
Dalam kitab Yehezkiel, pasal 48, kita menemukan deskripsi yang mendalam mengenai pemulihan dan penataan kembali umat Israel di tanah perjanjian mereka. Salah satu aspek yang sangat menarik dan penting adalah penjelasan mengenai pembagian tanah, terutama area yang dikhususkan untuk para imam dan kota yang kudus. Ayat 14 dari pasal ini secara tegas menyatakan, "Mereka tidak boleh menjual atau menukarnya atau mengalihkan hak milik tanah wakaf dari tanah itu, karena tanah itu kudus bagi TUHAN." Pernyataan ini bukan sekadar larangan administratif, melainkan sebuah penegasan tentang kesucian dan integritas dari tanah yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Dalam visi kenabian Yehezkiel, kota suci yang baru, termasuk area persembahan untuk para imam dan orang Lewi, memiliki status khusus. Tanah ini tidak diperlakukan seperti properti duniawi yang bisa diperjualbelikan, diwariskan secara sembarangan, atau dialihkan hak miliknya. Alasannya jelas: tanah tersebut adalah "kudus bagi TUHAN." Konsep kesucian dalam konteks Alkitab menyiratkan pemisahan, pengudusan, dan persembahan untuk tujuan ilahi. Tanah ini menjadi simbol kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya dan menjadi pengingat konstan akan kedaulatan-Nya atas segala sesuatu, termasuk tanah perjanjian.
Larangan untuk menjual atau menukar tanah ini memiliki implikasi teologis yang kaya. Pertama, ini menekankan bahwa segala sesuatu pada akhirnya adalah milik Tuhan. Manusia hanyalah pengelola atau penatalayan atas apa yang Tuhan percayakan. Area yang dikhususkan untuk pelayanan ilahi secara inheren memiliki nilai yang melampaui nilai ekonomi atau materiil. Menjualnya berarti merendahkan nilai kesuciannya dan mengabaikan tujuan utamanya.
Kedua, ketetapan ini menjamin bahwa tanah tersebut akan terus difungsikan sesuai dengan tujuannya. Para imam dan orang Lewi, yang bertugas melayani Tuhan dan umat, akan memiliki tempat tinggal dan sumber daya yang memadai tanpa gangguan dari kepemilikan pribadi yang bisa berubah-ubah. Ini menciptakan stabilitas dan keberlanjutan bagi sistem kekudusan dan ibadah yang Tuhan inginkan. Kota ini menjadi pusat spiritual yang terjamin kemurniannya dari pengaruh-pengaruh duniawi yang dapat mencemarinya.
Penting untuk dicatat bahwa visi ini, meskipun terperinci, seringkali diinterpretasikan secara simbolis oleh banyak teolog Kristen. Bagi orang percaya, konsep "tanah kudus" dapat diperluas maknanya. Jemaat atau gereja dapat dilihat sebagai perwujudan dari komunitas kudus yang dipanggil untuk memisahkan diri dari dosa dan mendedikasikan diri untuk melayani Tuhan. Prinsip kesucian, pemisahan, dan dedikasi yang ditekankan dalam Yehezkiel 48:14 tetap relevan bagi kehidupan rohani umat Tuhan saat ini. Harta benda, waktu, dan talenta kita, jika dipersembahkan kepada Tuhan, menjadi "kudus" dan tidak boleh disalahgunakan atau dihabiskan untuk tujuan yang tidak berkenan di hadapan-Nya.
Dengan demikian, Yehezkiel 48:14 bukan hanya pasal historis mengenai pembagian tanah di masa lalu, melainkan sebuah ajaran abadi tentang pentingnya menghormati dan menjaga kekudusan hal-hal yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ini adalah panggilan untuk memelihara integritas spiritual dalam komunitas kita dan dalam kehidupan pribadi kita, memastikan bahwa apa yang dikhususkan bagi-Nya tetap kudus dan tidak terkompromi.