"Mereka akan mengenakan pakaian perkabungan dan ketakutan akan meliputi mereka. Segala muka akan menjadi pucat pasi dan kepala mereka akan dibotaki karena malu."
Kitab Yehezkiel seringkali menggambarkan hukuman dan penghakiman Allah terhadap umat-Nya yang telah berpaling dari jalan-Nya. Ayat 7:18, khususnya, melukiskan gambaran yang suram tentang konsekuensi dari dosa dan ketidaktaatan. Kata-kata ini bukanlah sekadar ramalan, melainkan peringatan keras tentang dampak psikologis dan spiritual yang mendalam ketika seseorang atau sebuah bangsa kehilangan perkenanan Allah. Pakaian perkabungan dan ketakutan yang melingkupi, pucat pasi wajah, hingga kepala yang dibotaki karena malu, semuanya adalah simbol visual yang kuat dari penyesalan mendalam dan kehinaan yang dirasakan.
Dalam konteks historisnya, ayat ini merujuk pada kehancuran Yerusalem dan pembuangan bangsa Israel. Yehezkiel menyaksikan secara langsung atau mendengar tentang penderitaan yang dialami umatnya ketika mereka kehilangan segala sesuatu yang mereka banggakan: tanah air, bait suci, bahkan martabat bangsa. Pakaian perkabungan adalah tanda duka yang kasat mata, menunjukkan bahwa tidak ada lagi sukacita atau harapan. Ketakutan yang meliputi mereka adalah manifestasi dari ketidakpastian masa depan yang kelam, di mana keamanan dan kedamaian telah direnggut.
Lebih dari sekadar penderitaan fisik, ayat ini juga menyoroti kehancuran moral dan spiritual. Wajah yang pucat pasi menggambarkan hilangnya kekuatan hidup, kesehatan, dan bahkan keberanian. Ini mencerminkan perasaan kekalahan dan kekecewaan yang mendalam. Kepala yang dibotaki karena malu adalah praktik umum di Timur Kuno untuk menunjukkan kesedihan yang luar biasa atau rasa malu yang memalukan. Dalam budaya saat itu, rambut seringkali dianggap sebagai simbol kekuatan dan kemuliaan. Kehilangan rambut berarti kehilangan identitas dan harga diri.
Pesan Yehezkiel 7:18 tetap relevan hingga kini. Ini mengingatkan kita bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi. Ketika kita mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual, ketika kita berpaling dari prinsip-prinsip kebenaran, kita berisiko mengalami "pakaian perkabungan" dalam kehidupan kita sendiri. Ini bisa berupa rasa bersalah yang terus-menerus, ketakutan akan masa depan, hilangnya ketenangan jiwa, dan rasa malu atas pilihan-pilihan yang telah kita buat. Ayat ini mendorong kita untuk merenungkan hubungan kita dengan Sang Pencipta, untuk hidup dalam ketaatan, dan untuk menghargai kedamaian serta sukacita yang datang dari kebenaran, sebelum "pakaian perkabungan" itu harus kita kenakan.