"Dan Yoyakim, raja Yehuda, telah menyuruh orang pergi ke rumah Barukh itu, dan dipanggilnya dia dari pelataran rumah raja, lalu Barukh membacakan firman TUHAN itu di depan Yoyakim dan di depan segala sida-sida raja yang berdiri di dekatnya."
Kitab Yeremia menyajikan narasi yang kuat tentang tantangan yang dihadapi para nabi dalam menyampaikan pesan Tuhan. Ayat Yeremia 36:21 menjadi saksi bisu bagaimana firman Tuhan, meskipun disampaikan melalui perantara manusia, seringkali dihadapkan pada penolakan dan bahkan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Kisah ini berlatar di Yerusalem, masa-masa kegelapan menjelang kehancuran kota dan pembuangan bangsa Yehuda. Nabi Yeremia, setelah diperintahkan oleh Tuhan, meminta juru tulisnya, Barukh, untuk menuliskan seluruh firman Tuhan yang telah disampaikan kepadanya selama bertahun-tahun. Teks yang tertulis ini bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan peringatan dan penghakiman ilahi yang ditujukan kepada bangsa Yehuda dan rajanya, Yoyakim, atas dosa-dosa dan ketidaktaatan mereka.
Barukh, dengan setia, membacakan gulungan itu di hadapan seluruh umat di rumah Tuhan, dan kemudian, atas desakan Yeremia, di hadapan para pejabat dan kemudian di hadapan Raja Yoyakim sendiri. Adegan pembacaan di hadapan Raja Yoyakim, seperti yang digambarkan dalam Yeremia 36:21, sangatlah krusial. Ini adalah momen puncak di mana firman Tuhan secara langsung dihadapkan pada otoritas tertinggi kerajaan. Para sida-sida raja, yang mendengar pembacaan tersebut, merasa gelisah dan takut, menyadari beratnya pesan yang disampaikan. Kehadiran mereka menunjukkan suasana formal dan penuh ketegangan di lingkungan istana.
Namun, reaksi Raja Yoyakim justru sangat berbeda dari para pejabatnya. Ketika ia mendengar firman Tuhan dibacakan, naluri penolakan dan pemberontakan dalam dirinya muncul. Ia tidak menunjukkan kerendahan hati atau keinginan untuk bertobat, melainkan kemarahan dan kebencian terhadap pesan yang menantang kekuasaannya dan mengancam gaya hidupnya yang penuh kesesatan. Tindakannya memotong gulungan itu dengan pisau tajam dan membuangnya ke dalam api menunjukkan betapa besar penolakannya terhadap kebenaran ilahi. Ini adalah tindakan yang sangat provokatif, sebuah pernyataan terang-terangan tentang penolakan terhadap Tuhan sendiri dan otoritas-Nya.
Meskipun gulungan itu dibakar, firman Tuhan tidak dapat dimusnahkan. Yeremia segera diperintahkan Tuhan untuk membuat gulungan baru, yang berisi firman yang sama, bahkan dengan tambahan ancaman yang lebih berat terhadap Yoyakim dan keturunannya. Pesan ini menegaskan bahwa otoritas Tuhan jauh melampaui otoritas manusia. Api mungkin dapat menghancurkan media fisik, tetapi kebenaran ilahi yang diungkapkan tidak dapat dipadamkan oleh kekuatan duniawi. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya mendengarkan dan merespons firman Tuhan dengan kerendahan hati, bukan dengan penolakan apalagi kebencian.
Yeremia 36:21 mengingatkan kita bahwa pesan Tuhan, betapapun sulitnya didengar atau tidak menyenangkan bagi telinga manusia, tetap merupakan ekspresi kasih dan keadilan-Nya. Ia memberi kesempatan untuk berbalik dari jalan yang salah sebelum terlambat. Tindakan Yoyakim adalah contoh mengerikan dari konsekuensi penolakan terang-terangan terhadap pesan peringatan dari Surga. Kita dipanggil untuk menjadi pendengar yang baik, yang terbuka terhadap kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu menantang kita untuk berubah.