"Ketika Yehudi telah membaca tiga atau empat lajur dari gulungan itu, raja menyayatnya dengan pisau lipat seorang jurutulis, lalu melemparkannya ke dalam api yang di perapian, sampai seluruh gulungan itu habis dimakan api yang di perapian itu."
Ayat Yeremia 36:23 menggambarkan sebuah momen yang sangat dramatis dan tragis dalam sejarah bangsa Israel. Nabi Yeremia, atas perintah Allah, telah menuliskan semua nubuat penghakiman terhadap Yehuda dan Yerusalem ke dalam sebuah gulungan kitab. Gulungan ini kemudian dibawa oleh Barukh, juru tulisnya, untuk dibacakan di hadapan bangsa, khususnya di rumah TUHAN, dan kemudian di hadapan para pejabat raja Yoyakim.
Ketika gulungan itu dibacakan, bukan pertobatan yang muncul, melainkan penolakan yang kasar. Raja Yoyakim, yang duduk di dekat perapian di rumahnya pada musim dingin, mendengarkan pembacaan itu. Namun, alih-alih merenungkan peringatan ilahi, ia bereaksi dengan kemarahan dan penghinaan yang luar biasa. Setelah mendengar beberapa bagian saja, ia menyayat gulungan itu dengan pisau seorang jurutulis dan melemparkannya ke dalam api yang membakar di perapian. Tindakan ini bukan sekadar merusak sebuah dokumen; itu adalah penolakan langsung terhadap firman Allah, sebuah pemberontakan yang disengaja terhadap kehendak dan peringatan Sang Pencipta.
Api perapian yang seharusnya memberikan kehangatan, kini menjadi alat untuk memusnahkan pesan ilahi. Gambaran gulungan yang terbakar di tengah kobaran api perapian adalah metafora yang kuat tentang betapa dinginnya hati raja dan banyak orang pada masa itu terhadap kebenaran Allah. Mereka memilih untuk mengabaikan, menghancurkan, dan membinasakan firman yang seharusnya membawa keselamatan atau setidaknya peringatan untuk berbalik.
Konsekuensi dari tindakan durhaka ini tidak tinggal diam. Allah tidak hanya membiarkan penolakan ini berlalu begitu saja. Melalui Yeremia, Allah kembali memberikan firman-Nya, memerintahkan agar nubuat yang sama ditulis ulang, kali ini dengan tambahan peringatan yang lebih keras mengenai Yoyakim dan keturunannya. Allah berfirman bahwa tidak akan ada yang duduk di atas takhta Daud, dan jenazah mereka akan terlempar keluar, terpapar panasnya siang dan dinginnya malam.
Api perapian yang memusnahkan gulungan kitab adalah gambaran dari penghakiman yang akan datang. Bangsa Yehuda, yang dipimpin oleh seorang raja yang menolak firman Allah, akan menghadapi api penghakiman dari bangsa Babel. Yerusalem akan dibakar, Bait Suci akan dihancurkan, dan bangsa itu akan dibuang. Penolakan terhadap firman Allah, yang diwujudkan dalam tindakan Raja Yoyakim, tidak hanya membawa malapetaka bagi dirinya sendiri dan kerajaannya, tetapi juga menegaskan ketidaktaatan yang lebih luas yang telah lama berakar di hati banyak orang Israel.
Kisah ini mengajarkan kita akan pentingnya menerima dan menghargai firman Allah. Menolak atau mengabaikan firman-Nya bukanlah tindakan tanpa konsekuensi. Sebaliknya, itu membuka pintu bagi penghakiman. Api penghakiman, seperti yang digambarkan dalam kisah ini, adalah sesuatu yang harus dihindari dengan sungguh-sungguh, dan satu-satunya cara untuk menghindarinya adalah dengan tunduk pada firman-Nya, mengakui otoritas-Nya, dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya.