Ayat Yeremia 36:25 menggambarkan sebuah momen krusial dalam narasi kenabian, di mana kebenaran ilahi disampaikan melalui pesan yang ditulis, namun penolakan dan ketidakpedulian menjadi respons utama dari pihak berwenang. Kisah ini berlatar belakang masa pemerintahan raja Yoyakim di Yehuda, sebuah periode yang penuh gejolak politik dan spiritual. Nabi Yeremia, yang telah lama menyampaikan peringatan dari Allah, diperintahkan untuk menuliskan semua firman yang telah diwahyukan kepadanya sejak masa tuanya hingga saat itu, dalam sebuah gulungan kitab. Perintah ini datang sebagai upaya terakhir untuk menjangkau hati raja dan bangsanya, sebelum murka Allah yang tak terhindarkan.
Barukh, juru tulis setia Yeremia, melaksanakan tugas tersebut dengan penuh keyakinan, membacakan isi gulungan itu di tempat umum, di rumah TUHAN, dan di hadapan para pejabat. Namun, respons yang datang sungguh mengecewakan. Ketika berita tentang gulungan itu sampai ke telinga raja Yoyakim, ia memerintahkan agar gulungan itu dibawa kepadanya. Dalam sebuah tindakan arogan dan penuh penghinaan, raja Yoyakim tidak hanya mengabaikan pesan peringatan tentang hukuman ilahi yang akan datang, tetapi juga dengan kejam merobek-robek gulungan itu dan melemparkannya ke dalam api perapian. Tindakan ini mencerminkan keteguhan hati yang keras kepala dan penolakan total terhadap kehendak Allah.
Meskipun pesan tersebut dibakar dan para utusan ilahi tidak didengarkan, firman Allah tidak dapat dihentikan. Yeremia, dengan dukungan ilahi, diperintahkan untuk membuat gulungan baru, menambahkan lebih banyak perkataan yang sama, serta nubuat tambahan mengenai kehancuran Yoyakim dan keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah akan tetap terlaksana, terlepas dari respons manusia. Yeremia 36:25 bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi sebuah pengingat abadi tentang konsekuensi dari penolakan kebenaran dan ketidaktaatan kepada Sang Pencipta.
Pesan dari ayat ini masih sangat relevan bagi kita saat ini. Dalam dunia yang dipenuhi informasi dan berbagai pandangan, seringkali kita menemukan diri kita dihadapkan pada kebenaran yang mungkin tidak nyaman atau menantang. Sama seperti raja Yoyakim yang memilih jalan kenikmatan duniawi dan penolakan, kita juga dapat tergoda untuk mengabaikan prinsip-prinsip ilahi atau suara hati nurani yang membimbing kita. Keteguhan hati, kesombongan, atau ketidakpedulian dapat menjadi tembok penghalang antara kita dan kebenaran yang dapat membawa kehidupan dan keselamatan.
Namun, kisah Yeremia juga menawarkan harapan. Meskipun pesan pertama dihancurkan, firman Allah tidak pernah lenyap. Ia terus berupaya menjangkau kita, menawarkan kesempatan untuk bertobat dan kembali. Penolakan terhadap pesan Allah mungkin membawa konsekuensi, tetapi selalu ada panggilan untuk mendengarkan dan merespons dengan hati yang terbuka. Seperti Barukh yang tetap setia dalam menyampaikan pesan, kita pun dipanggil untuk menjadi pembawa pesan kebenaran di tengah dunia yang seringkali tuli. Yeremia 36:25 mengundang kita untuk merenungkan sikap kita terhadap pesan-pesan ilahi yang disampaikan kepada kita, baik melalui kitab suci, melalui sesama, maupun melalui bisikan hati nurani. Apakah kita akan menjadi seperti raja Yoyakim yang membakar dan mengabaikan, atau menjadi seperti Yeremia dan Barukh yang setia dalam menyampaikan dan mendengarkan? Pilihan ada di tangan kita.