Kisah di Kitab Yosua, pasal 9, menyajikan sebuah momen krusial dalam penaklukan tanah Kanaan. Ayat ke-15 secara ringkas menggambarkan penetapan perjanjian damai antara bangsa Israel yang dipimpin oleh Yosua dan penduduk kota Gibeon. Perjanjian ini bukan hanya tentang menghentikan peperangan, tetapi juga melibatkan sumpah setia yang mengikat kedua belah pihak.
Bangsa Gibeon, mengetahui kekuatan dahsyat yang dimiliki oleh bangsa Israel, memutuskan untuk menggunakan strategi yang cerdik namun berisiko. Mereka berpura-pura datang dari negeri yang jauh, dengan pakaian lusuh, kantong-kantong tua, dan bejana-bejana anggur yang sudah usang, seolah-olah mereka telah melakukan perjalanan berhari-hari. Tujuannya adalah untuk meyakinkan Yosua dan para pemimpin Israel bahwa mereka bukanlah bagian dari bangsa-bangsa Kanaan yang seharusnya dimusnahkan. Dengan demikian, mereka berharap dapat mencapai kesepakatan damai dan menyelamatkan diri serta kota mereka.
Yosua dan para pemimpin Israel, setelah melihat bukti kedatangan mereka yang seolah-olah dari tempat yang sangat jauh, terperdaya. Mereka tidak bertanya kepada TUHAN mengenai orang-orang ini, yang merupakan kelalaian yang memiliki konsekuensi di kemudian hari. Berdasarkan informasi yang menyesatkan tersebut, mereka membuat perjanjian damai dan bersumpah untuk membiarkan orang Gibeon hidup. Ini adalah inti dari apa yang dicatat dalam Yosua 9:15.
Keputusan ini memiliki dampak jangka panjang. Bangsa Gibeon menjadi "pemungut air dan tukang kayu" bagi bangsa Israel. Meskipun mereka mendapatkan perlindungan, status mereka sebagai budak atau pelayan tetap melekat. Ironisnya, di kemudian hari, ketika perjanjian ini dilanggar oleh Saul, Tuhan menimpakan kelaparan kepada Israel, yang kemudian diperbaiki dengan menyerahkan keturunan Saul untuk dihukum. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Tuhan memandang sumpah dan perjanjian yang telah dibuat.
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, tentang pentingnya kehati-hatian dan hikmat dalam membuat keputusan, terutama yang menyangkut hubungan dan perjanjian. Kedua, tentang konsekuensi dari penipuan dan kelalaian. Ketiga, tentang keadilan Tuhan yang menjamin perjanjian yang telah dibuat, meskipun itu dibuat berdasarkan informasi yang salah, namun juga keadilan-Nya yang melihat pelanggaran terhadap perjanjian tersebut. Yosua 9:15 bukan hanya sebuah ayat sejarah, tetapi juga sebuah pengingat akan prinsip-prinsip moral dan spiritual yang relevan hingga kini.
Perjanjian yang dibuat dengan bangsa Gibeon akhirnya mengintegrasikan mereka ke dalam struktur masyarakat Israel, meskipun dengan status yang lebih rendah. Ini berbeda dengan perlakuan terhadap bangsa-bangsa Kanaan lainnya yang diperintahkan untuk dimusnahkan. Pengecualian ini terjadi karena kelicikan bangsa Gibeon dan kelalaian bangsa Israel dalam mencari petunjuk ilahi.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah Yosua 9 mengajarkan kita bahwa bahkan dalam kemenangan militer, kebijaksanaan, integritas, dan pencarian kehendak Tuhan adalah hal yang paling utama. Kesalahan dalam penilaian, seperti yang dilakukan Yosua, dapat membawa tantangan dan beban tambahan. Namun, hikmat yang terkandung dalam ayat ini adalah bahwa perjanjian yang sah, yang dibuat dengan sumpah, harus dihormati, meskipun ada penyesalan di kemudian hari.
Kisah ini terus menjadi bahan renungan bagi banyak orang Kristen mengenai pentingnya kejujuran, integritas, dan konsekuensi dari tindakan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang serta pencarian petunjuk ilahi.