Lalu berkatalah ia (Petrus) sambil duduk: "Aku melihat dan mendengar sendiri, bahwa Allah tidak membedakan orang. Siapapun yang takut akan Dia dan mengusahakan keadilan, diterima oleh-Nya."
Kisah Rasul 10:27 adalah salah satu ayat yang paling transformatif dalam Perjanjian Baru. Ayat ini mencatat momen krusial ketika Rasul Petrus, setelah mengalami penglihatan ilahi dan undangan dari seorang perwira Romawi bernama Kornelius, akhirnya memahami kebenaran mendasar tentang sifat Allah dan rencana-Nya bagi seluruh umat manusia. Selama berabad-abad, pemahaman tentang siapa yang termasuk dalam umat Allah sangat sempit, terbatas pada orang Yahudi saja. Namun, melalui pengalaman Petrus, dinding pemisah itu dihancurkan.
Sebelum peristiwa ini, orang Yahudi dan non-Yahudi memiliki jurang pemisah yang dalam, baik secara budaya maupun agama. Orang Yahudi memandang orang bukan Yahudi sebagai "orang luar" yang tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal dan diselamatkan oleh Tuhan yang sama. Peraturan hukum Taurat, termasuk soal makanan dan ritual kebersihan, semakin memperkuat pemisahan ini. Namun, Tuhan berkehendak lain. Melalui serangkaian peristiwa yang dramatis, Ia menunjukkan kepada Petrus bahwa kasih dan anugerah-Nya tidak terbatas pada satu kelompok bangsa saja.
Penglihatan Petrus tentang hewan-hewan yang halal dan haram, yang kemudian diperintahkan untuk disembelih dan dimakan, adalah metafora kuat. Pada awalnya, Petrus menolak, mengutip hukum Musa. Namun, suara ilahi menekankan, "Apa yang telah disucikan Allah, jangan kamu sebut haram." Kemudian, ketika orang-orang dari Kaisarea datang menjemputnya, Petrus akhirnya pergi, dan di rumah Kornelius, ia menyadari bahwa Allah telah membuka pintu keselamatan bagi semua bangsa. Saat ia berbicara kepada Kornelius dan keluarganya, Roh Kudus dicurahkan ke atas mereka, membuktikan bahwa Tuhan menerima mereka sebagaimana Ia menerima orang Yahudi.
Ayat 27 adalah kesimpulan dari pemahaman Petrus pada momen itu. Ia dengan tegas menyatakan, "Aku melihat dan mendengar sendiri, bahwa Allah tidak membedakan orang." Pernyataan ini bukan sekadar pengamatan, melainkan sebuah pengakuan iman yang mendalam. Petrus mengerti bahwa standar penerimaan di hadapan Tuhan bukanlah keturunan bangsa, status sosial, atau ketaatan pada ritual tertentu, melainkan ketakutan akan Tuhan dan usaha untuk melakukan keadilan. Ini adalah prinsip universal yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja.
Kisah ini memiliki implikasi yang luar biasa bagi gereja mula-mula dan bagi kita hingga kini. Rasul Paulus kemudian akan mengembangkan teologi ini lebih lanjut, menjelaskan bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi atau Yunani, budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan. Semua adalah satu di dalam Kristus. Ayat Rasul 10:27 menjadi fondasi yang kokoh bagi pemberitaan Injil yang bersifat inklusif dan universal. Ia mengingatkan kita bahwa Tuhan mencari hati yang tulus yang mencari-Nya dan hidup dalam kebenaran. Kasih-Nya terbentang luas, melampaui segala prasangka dan batasan manusia.