"Dan ada juga yang berteriak ini, dan ada juga yang berteriak itu, sebab jemaat itu kacau, dan kebanyakan dari mereka tidak tahu apa sebabnya mereka berkumpul."
Kisah Para Rasul pasal 19 membawa kita pada salah satu peristiwa paling dramatis dalam pelayanan Rasul Paulus di kota Efesus. Ayat 32 menjadi saksi bisu kekacauan yang melanda kota tersebut, sebuah gejolak yang dipicu oleh kebencian dan ketakutan terhadap ajaran baru yang dibawa oleh Paulus dan para pengikutnya. Peristiwa ini menyoroti bagaimana penyebaran Injil sering kali menemui perlawanan sengit, terutama ketika menyentuh kepentingan ekonomi dan tradisi yang sudah mengakar kuat.
Di Efesus, pusat pemujaan Dewi Artemis (Diana bagi orang Romawi), terdapat industri yang sangat bergantung pada pembuatan patung-patung dewi tersebut. Demetrius, seorang pembuat patung perak, memimpin sekelompok pengrajin yang merasa terancam oleh ajaran Paulus. Mereka melihat bahwa semakin banyak orang yang berpaling dari dewi Artemis dan percaya kepada satu Allah yang sejati, semakin sedikit pula permintaan terhadap produk-produk mereka. Ini adalah ancaman langsung terhadap mata pencaharian dan status sosial mereka.
Demetrius secara cerdik memanfaatkan ketidakpuasan ini. Ia mengumpulkan para pengrajin dan para penyembah Artemis lainnya, menyulut kemarahan mereka dengan mengatakan bahwa ajaran Paulus tidak hanya merusak bisnis mereka tetapi juga menghina kehormatan Dewi Artemis yang agung. Seruan mereka menggema di jalan-jalan kota: "Besarlah Artemis orang Efesus!" Kerumunan massa pun terbentuk, dipimpin oleh Demetrius dan rekan-rekannya, mereka menyerbu tempat umum, khususnya gedung pertemuan tempat Paulus biasa mengajar atau di mana murid-muridnya berkumpul. Kata kunci Kisah Rasul 19 32 benar-benar terwujud di sini, menggambarkan suasana yang sangat tidak terorganisir dan penuh kebingungan.
Kekacauan yang timbul digambarkan dengan jelas dalam ayat ini. Massa yang digerakkan oleh emosi berteriak dengan berbagai macam seruan. Ada yang meneriakkan pujian untuk Artemis, ada yang mungkin meneriakkan kemarahan terhadap Paulus, dan ada pula yang sekadar ikut terbawa arus tanpa benar-benar memahami inti permasalahan. Ayat tersebut secara gamblang menyatakan, "kebanyakan dari mereka tidak tahu apa sebabnya mereka berkumpul." Ini adalah ciri khas kerumunan yang digerakkan oleh propaganda dan emosi, bukan oleh pemahaman yang mendalam. Mereka bertindak berdasarkan desas-desus, ketakutan, dan hasutan.
Situasi menjadi sangat genting ketika dua rekan Paulus dari Makedonia, Gayus dan Aristarkhus, ikut terseret ke dalam arena. Paulus sendiri sempat ingin menghadapi massa, namun para pengikutnya, termasuk para pemimpin sinagoge, melarangnya. Mereka telah memahami bahaya yang mengintai.
Untungnya, kekacauan ini tidak berlanjut lebih jauh berkat campur tangan juru tulis kota (γραμματεὺς). Juru tulis tersebut berhasil menenangkan massa dengan mengingatkan mereka akan hukum Romawi dan potensi hukuman dari pihak berwenang jika kerusuhan terus berlanjut tanpa alasan yang jelas. Ia juga menekankan bahwa Efesus dikenal sebagai penjaga kuil Artemis dan bahwa hal ini seharusnya menjadi kebanggaan mereka, bukan alasan untuk melakukan kekerasan.
Kisah Para Rasul 19:32 ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kebenaran Injil sering kali berbenturan dengan kepentingan duniawi dan kebiasaan yang telah lama ada. Peristiwa di Efesus menunjukkan kekuatan emosi massa yang mudah diprovokasi, serta pentingnya pemahaman yang benar dan ketenangan di tengah badai. Meskipun ancaman itu nyata, pelayanan Paulus di Efesus tetap berlanjut setelah gejolak mereda, membuktikan bahwa iman yang sejati mampu bertahan di tengah berbagai cobaan dan tantangan. Ayat ini menjadi pengingat bahwa di balik keramaian dan teriakan, seringkali ada kebingungan dan kurangnya pemahaman, sebuah realitas yang masih relevan hingga kini dalam berbagai konteks sosial dan keagamaan.