M73:9

Mazmur 73:9 - Keadilan Ilahi yang Mengejutkan

Mulut mereka menyalak kesombongan, lidah mereka mengucap ancaman.

Setiap firman Tuhan memiliki kekuatan dan kedalaman makna yang luar biasa, menggugah hati dan pikiran kita untuk merenungkan kebenaran-Nya. Mazmur 73, secara khusus, mengajak kita untuk bergulat dengan pertanyaan sulit tentang keadilan dan kemakmuran orang fasik. Dalam ayat kesembilan, pemazmur Asaf menggambarkan dengan tajam karakter orang-orang yang tampaknya hidup tanpa takut akan Tuhan: "Mulut mereka menyalak kesombongan, lidah mereka mengucap ancaman." Pernyataan ini bukan sekadar deskripsi pasif, melainkan gambaran aktif dari keangkuhan dan kebejatan moral yang terpancar dari ucapan mereka.

Perkataan "menyalak kesombongan" memberikan kesan suara yang keras, kasar, dan tanpa kendali, seperti gonggongan anjing yang agresif. Ini menunjukkan bahwa kesombongan bukan hanya perasaan internal, tetapi juga diekspresikan secara verbal dengan cara yang mengintimidasi dan merendahkan orang lain. Lidah mereka, alat komunikasi yang seharusnya digunakan untuk membangun, malah dipakai untuk "mengucap ancaman." Ini mengindikasikan niat jahat untuk menakut-nakuti, mendominasi, dan bahkan merusak reputasi atau kehidupan orang lain melalui kata-kata tajam dan penuh kebencian.

Dalam konteks Mazmur 73, gambaran ini muncul ketika pemazmur menyaksikan orang fasik justru hidup makmur dan kaya raya, sementara ia sendiri menderita dan menghadapi kesulitan. Hal ini menimbulkan pergolakan batin yang mendalam: "Mengapakah orang fasik berhasil? Mengapakah mereka hidup tenang dan semakin lama semakin kaya?" (ay. 12). Di tengah kebingungan ini, pemazmur menyadari bahwa orang-orang yang ia amati memiliki cara pandang yang sangat berbeda terhadap kehidupan dan keadilan. Mereka tidak melihat adanya batasan moral atau konsekuensi ilahi atas perbuatan mereka.

Perkataan mereka yang penuh kesombongan dan ancaman mencerminkan keyakinan mereka bahwa mereka bebas dari pengawasan atau penghakiman Tuhan. Mereka merasa dapat berbuat sesuka hati, memperkaya diri melalui cara-cara yang tidak adil, dan mengancam siapa saja yang menghalangi jalan mereka, tanpa rasa takut akan balasan. "Mereka berkata, 'Bagaimanakah Allah mengetahui hal ini? Adakah Pengetahuan Yang Mahatinggi mengetahuinya?'" (ay. 11). Pemahaman yang keliru tentang sifat Allah dan keadilan-Nya membuat mereka semakin berani dalam kejahatan mereka.

Namun, Mazmur 73 tidak berhenti pada deskripsi kesombongan orang fasik. Sebaliknya, ayat-ayat selanjutnya mengarahkan kita pada pemulihan perspektif pemazmur. Ia menyadari bahwa kemakmuran orang fasik adalah sementara dan hukuman ilahi pasti akan datang. "Sesungguhnya, orang-orang fasik tidak mengalami penderitaan pada waktu kematian mereka, dan mereka sehat walafiat. Mereka tidak mengalami kesukaran manusia, dan tidak terkena malapetaka seperti yang lain." (ay. 4-5). Ketenangan dan kekayaan mereka justru menjadi jebakan yang membuai, menjauhkan mereka dari Tuhan.

Perkataan kesombongan dan ancaman yang mereka lontarkan pada akhirnya akan berbalik pada diri mereka sendiri. Keadilan Allah, meskipun mungkin tidak segera terlihat, akan bertindak. Pemazmur akhirnya menemukan kedamaian ketika ia kembali mendekat kepada Tuhan dan memahami rencana-Nya. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak terpengaruh oleh kesuksesan sementara orang fasik, tetapi untuk terus berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan Tuhan, karena pada akhirnya, Dia adalah Hakim yang sejati. Ucapan yang mulia dan penuh ancaman itu hanyalah suara bising sementara di hadapan keheningan penghakiman-Nya.

Keadilan ilahi senantiasa berlaku, bahkan ketika kesombongan duniawi tampak berkuasa.