"Apabila engkau memetik buah zaitun di pohonmu, janganlah engkau memetiknya sekali lagi. Itu akan menjadi bagian orang asing, yatim piatu dan janda."
Ulangan 24:20 bukan sekadar sebuah aturan pertanian kuno, melainkan sebuah jendela ke dalam hati dan pikiran Tuhan mengenai bagaimana umat-Nya harus berinteraksi dengan sesama, terutama mereka yang paling rentan. Ayat ini berasal dari bagian hukum yang diberikan kepada bangsa Israel oleh Tuhan melalui Musa, yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Pesan yang terkandung di dalamnya begitu dalam dan relevan hingga masa kini.
Dalam konteks masyarakat agraris Israel kuno, panen adalah momen krusial yang menentukan kelangsungan hidup. Buah zaitun, khususnya, merupakan sumber minyak yang sangat penting untuk makanan, penerangan, dan keperluan lainnya. Tuhan menetapkan sebuah perintah yang revolusioner: saat memanen buah zaitun, tinggalkanlah sebagian yang tidak terpetik. Sisa-sisa inilah yang diperuntukkan bagi kaum asing (mereka yang tidak memiliki tanah leluhur di Israel), anak-anak yatim piatu, dan para janda.
Perintah ini jauh melampaui konsep amal atau belas kasihan semata. Ini adalah instruksi ilahi yang tertanam dalam struktur masyarakat untuk memastikan keadilan sosial dan kepedulian yang terlembaga. Tuhan secara spesifik menyebutkan tiga kelompok rentan yang seringkali terpinggirkan: orang asing yang mungkin tidak memiliki jaringan dukungan sosial, anak-anak yang kehilangan ayah mereka, dan para janda yang kehilangan pelindung dan pencari nafkah utama.
Ini menunjukkan bahwa Tuhan sangat peduli pada kesejahteraan semua orang, tanpa terkecuali. Dia tidak menginginkan masyarakat yang hanya menguntungkan sebagian orang, melainkan sebuah komunitas yang berbagi berkat dan memastikan tidak ada yang kelaparan atau terlupakan. Tindakan meninggalkan sebagian hasil panen bukanlah sebuah kerugian, melainkan investasi dalam kemanusiaan dan ketaatan pada perintah Ilahi. Ini adalah pengakuan bahwa semua yang kita miliki berasal dari Tuhan, dan Dia ingin kita menggunakannya untuk memberkati orang lain.
Meskipun kita tidak lagi hidup dalam masyarakat agraris yang sama, prinsip di balik Ulangan 24:20 tetap sangat kuat. Bagaimana kita, di era modern ini, dapat menerapkan pesan ini? Pertama, dengan mengakui bahwa apa pun yang kita miliki—rezeki, talenta, kekayaan, waktu—adalah titipan Tuhan. Kedua, dengan secara aktif mencari peluang untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Ini bisa berarti menyumbang untuk badan amal yang melayani kaum miskin, yatim piatu, dan janda; mendukung program-program sosial yang berfokus pada mereka yang terpinggirkan; atau bahkan tindakan kebaikan sederhana sehari-hari kepada tetangga atau rekan kerja yang sedang kesulitan.
Ulangan 24:20 mengajarkan kita untuk melihat "sisa-sisa" dari kesuksesan kita sebagai kesempatan untuk membangun komunitas yang lebih adil dan penuh kasih. Ini adalah undangan untuk membuka hati dan tangan, mencerminkan belas kasih Tuhan dalam kehidupan kita. Dengan melakukan itu, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga memuliakan Tuhan dan menumbuhkan kebaikan dalam diri kita sendiri. Kehidupan yang diberkati bukanlah kehidupan yang hanya berfokus pada diri sendiri, tetapi kehidupan yang meluap dengan kasih dan kepedulian kepada sesama.